Mental Health Bagi Generasi Z
Kesehatan mental dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat jangka panjang. Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental. Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri.
Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka prevalensi gangguan jiwa di Indonesia, meningkat secara signifikan dari 1,7% di 2013 menjadi 7% di 2018. Berbagai faktor bisa jadi pemicu meningkatnya masalah mental seperti pekerjaan, hubungan dengan keluarga atau pasangan, serta ujian hidup yang semakin besar. Bahkan berdasarkan informasi yang dikutip dari Kementrian Kesehatan (KEMENKES) Indonesia, data WHO menyebutkan bahwa tindak bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor dua tertinggi pada kelompok usia 15-29 tahun pada tahun 2012. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa anak muda alias generasi Z saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Terlebih masa muda merupakan waktu di mana banyak perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial.
Banyak orang dan ilmuwan amatir mungkin juga akan langsung mengaitkan isu-isu kesehatan mental ini dengan munculnya media sosial. Isu bahwa media sosial sebagai pemicu depresi, bullying, isolasi dan tentunya adiksi sering kita dengar. Di mana-mana apabila perbincangan ini dilakukan oleh orang awam terutama orang tua, seringkali muncul pendapat bahwa media sosial membawa pengaruh buruk bagi anak, sehingga apapun penyimpangan yang terjadi, akan dengan mudah menjadikan media sosial menjadi kambing hitamnya.
Percaya atau tidak, bullying itu akan selalu ada. Media sosial dan cyber hanyalah salah satu perantaranya. Isolasi dan adiksi juga pasti ada pemicunya. Mengapa remaja ‘lari’ ke media sosial yang bersifat virtual? Kebosanan dan negativitas yang dirasakan dari lingkungan ‘asli’-nya bisa saja menjadi pemicu utamanya. Justru ketika kita menelaah lebih dalam, banyak sekali situs, aplikasi, laman facebook, akun Instagram, thread Twitter yang menawarkan bantuan dan wadah support group terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental, yang kebanyakan partisipannya adalah remaja
Mudah sekali bagi masyarakat untuk menyalahkan hal-hal asing/baru atas terjadinya isu kesehatan mental, dan melupakan peran diri sendiri terhadap permasalahan tersebut. Sebenarnya, masalah utamanya di sini bukan apa penyebabnya, namun apa yang tidak mencegah dan bahkan seolah-olah membiarkan permasalahan tersebut kerap muncul. Kunci jawabannya terletak pada kepedulian. Kepedulian kita sebagai anggota keluarga, teman, dan masyarakat pada umumnya terhadap isu, korban, dan calon korban, terutama remaja.
Peduli tidak berarti harus menjadi ilmuwan psikologi. Peduli bisa sesederhana gesture bertanya. Misalnya, sebagai orangtua, bila mendengar ada kasus bunuh diri, cyberbullying, atau pengaruh smartphone dan media sosial di portal berita atau grup Whatsapp, jangan langsung menggerakkan insting utamanya untuk menghentikan atau melimitasi penggunaannya secara tiba-tiba. Melainkan, cobalah bertanya dan benar-benar berusaha memahami apa yang dirasakan oleh anak/remaja. Pertanyaan sederhana tentang bagaimana pertemanan atau sekolah, atau berbicara topik-topik lain yang tidak berpusat pada dirinya merupakan awal mula yang baik. Ceritakan suatu hal tentang diri anda semasa seusianya. Ajak berdiskusi tentang topik yang ia sukai. Tanya pendapatnya, dekatkan diri dan usahakan untuk menghabiskan waktu dengannya. Tanpa menghakimi.
Tentu perlu kesabaran yang tinggi dan pendekatan yang berbeda. Namanya gangguan, tentu tidak sejalan dengan apa yang kita anggap biasa. Sehingga tidak bisa diselesaikan dengan solusi yang seperti biasanya, seperti menghukum atau mengalienasi anak ketika melakukan suatu hal yang tidak sesuai aturan. Kuncinya baik dalam memahami dan menangani adalah kedekatan dan waktu. Bila tidak memiliki atau merasakan dua hal tersebut, gangguan kemungkinan besar akan semakin buruk.
Mental Health Bagi Generasi Z
Reviewed by Zita Angranti
on
September 30, 2020
Rating: 5